Setelah scene sesosok orang tua yang menceritakan peristiwa yang cukup
sadis namun sambil tertawa dan bernyanyi, scene
berganti pada sebuah malam terlihat truk – truk berjalan beriringan dan dalam
gelap terlihat samar – samar di pinggirnya pun ada banyak orang yang tidak
begitu jelas sedang melakukan apa, namun di scene
ini backsoundnya justru seorang nenek
renta yang sepertinya merindukan anaknya, anaknya yang tidak pernah pulang,
anaknya yang selalu hadir dimimpinya, anaknya yang bernama Ramli.
Saya bernyanyi
memanglah sengaja
Buatlah pelipur
hatiku yang susah
Apalah guna
kubenanglah benang
Jikalah kubenang
memutuslah tali
Apalah guna
kukenanglah kenang
Jikalah kukenang
memutuslah hati
Bercerita tentang seorang penjual
kacamata keliling bernama Adi, yang ingin mengetahui kebenaran yang terjadi
mengenai kakaknya Ramli, yang sebenernya Adi pun belum pernah bertemu, karena
Ramli wafat dua tahun sebelum Adi lahir, Ramli adalah salah satu korban dari
peristiwa G30S, yang sayang seribu sayang, Ramli ini sama sekali tidak terlibat
dan tidak tahu apa – apa mengenai komunisme, dan para pembunuh itu pun mengakui
bahwa Ramli memang orang baik di Lingkungannya.
Selain itu Adi ingin mengungkap
ketidakadilan yang ada dilingkungannya, dimana para pembunuh – pembunuh itu
bukannya dihukum, diadili atau paling tidak menyesali perbuatannya di masa
lalu, mereka justru berkuasa, berlagak bak pahlawan, mengisi beberapa posisi –
posisi penting di pemerintahan, dan memiliki harta yang serba berkecukupan, hal
ini tentu saja berbanding terbalik dengan para korban – korban Genosida ini,
sudah dirundung penderitaan dari masa lalu ditambah dengan kehidupan yang serba
kekurangan, hidup yang jauh dari kata layak, dan juga masih ada trauma – trauma
yang masih menghantui para korban.
Secara garis besar, Joshua Oppenheimer ingin
menceritakan mengenai sebuah lingkungan yang dimana hidup para warga korban
peristiwa G30S, Dan para pembunuh dan pelaku G30S, bahkan ada pula dimana,
korban dan pelaku hidup bersebelahan dan bertetangga, Joshua seperti memecah
keheningan yang sudah lama menyelimuti lingkungan tersebut, keheningan yang
disebabkan oleh peristiwa di masa lalu, baik para korban maupun pelaku memang
banyak yang tidak mau hal – hal terkait G30S ini diungkit kembali, mereka lebih memilih untuk menjadikan ini
sebagai rahasia umum saja, dan mereka memilih hidup berdampingan dalam senyap.
Lalu bagaimana cara Adi mengungkap ketidakadilan yang
terjadi pada kakaknya, dengan bantuan Joshua, Adi langsung mengunjungi para
pelaku G3OS ini kerumah dan tempat mereka masing – masing, beberapa ada yang
langsung ditemui dengan maksud seperti diatas, beberapa lagi didatangi Adi
dengan cara menjadikan profesi utamanya sebagai bisa dibilang kedok, ya,
sebagai penjual kacamata keliling, Adi mengunjungi para pelaku – pelaku
pembunuhan ini, sambil memeriksa mata pelaku, Adi juga mengorek informasi dan
menanyakan hal – hal yang berkaitan dengan peristiwa keji dimasa lalu tersebut.
Mulai dari algojo – algojo kelas
teri, sampai ketua komando aksi, semua dikunjungi oleh Adi dan dari semuanya
pula informasi – informasi dikumpulkan, dan kalau dikerucutkan, para pelaku –
pelaku ini tidak ada rasa sesal maupun bersalah sedikitpun, mereka merasa bahwa
yang mereka lakukan adalah hal yang benar, doktrin yang dicekoki oleh orang –
orang “penting” terhadap masyarakat sepertinya berhasil, terbukti dari apa yang
terjadi, para pembunuh ini beralasan para warga yang terkait PKI dan malah
sebagian besar masih berstatus “terduga” dengan kata lain belum tentu terkait,
wajib dibunuh karena mereka anti tuhan, pengkhianat dan berbahaya, sehingga harus
dibunuh dan darahnya halal untuk diminum, bahkan salah satu pelaku, Inong,
berkata, darah para korban memang wajib diminum, karena kalau tidak diminum,
para pelaku akan menjadi gila.
Di film ini juga sebenarnya ada
beberapa scene yang bisa dibilang scene ringan, semacam penyegaran
diantara kisah – kisah keji dan sadis yang ada, seperti ketika bapak ramli
menyanyi secara terbata – bata sebuah lagu, lalu ketika bapak Ramli tersesat di
rumahnya sendiri, scene ini sebenarnya cukup mengundang tawa, namun dibalik itu
ada kisah miris yang mengiringinya, yang membuat kita cukup segan untuk sekedar
senyum.
Selain itu ada pula salah satu
karakter kesukaan saya, Aisyah namanya, hanya muncul di beberapa scene saja,
seorang anak kecil perempuan yang polos dan periang, dia adalah anak dari Adi,
tawa dan logat khasnya membuat kita tersenyum dan segar, namun jika dipikir,
rasa – rasanya tak tega juga melihat Aisyah yang lucu terselip diantara kisah –
kisah horor dan keji yang nyata ini.
Ada satu scene yang cukup
menyentuh dari banyaknya scene sejenis di film ini, dalam perjalanan menuju
makam Ramli, Ibu Ramli bercerita tentang anaknya yang berteriak saat pulang “mak,
mamak!!”, Ibu Ramli itu sudah menunggu lama kepulangan Ramli, setelah Ramli
pulang, Ibu Ramli membukakan baju dan celananya yang sudah penuh darah ditambah
kondisi badannya yang sudah terkoyak tak berbentuk di beberapa bagian,
diobatilah Ramli, diciumilah Ramli, tak lama melepas rindunya yang tertahan
lama, ternyata ada beberapa orang yang kembali menjemput Ramli, mereka berkata
ingin membawanya ke rumah sakit namun ternyata, dicincanglah Ramli di
perjalanan dan mayatnya dibuang diperkebunan kelapa sawit.
Bayangkan seorang ibu yang
semalaman menunggu anaknya pulang, ketika sudah pulang, tentu sang ibu bahagia
dan hilang lah rasa cemas, namun dengan kondisi badan yang hancur seperti itu,
ibu mana yang kuat melihatnya, dirawat, diobati, dicium, belum hilang rasa
kangen yang ada, ternyata sang anak sudah dijemput dan diketahui tidak akan
kembali untuk selamanya.
Interview yang dilakukan oleh Adi kepada para pembunuh – pembunuh
itu memang menjadi inti utama dari film ini, ekspresi Adi ketika bertemu dan
berbicara langsung dengan para pelaku ini sepertinya menjadi salah satu modal
kuat andalan Joshua dalam film ini, saya menilai ada kesan dramatisir yang
dilakukan oleh Adi, dan Joshua pun justru memperkuat hal itu, ini terlihat dari
permainan efek kamera yang dilakukannya, kalau kita ingat sinetron – sinetron
Indonesia, kurang lebih seperti itu lah caranya, posisi Camera masih normal, Pelaku mendengar hal yang mengejutkan, Pelaku
mulai berekspresi detail, Close up secara full.
Tanggapan saya sebagai awam juga
menyayangkan beberapa hal dari film ini, selain hal diatas, adapun hal lain
seperti pertanyaan – pertanyaan yang diajukan Adi kepada para pelaku, jika
diperhatikan pertanyaan – pertanyaan yang Adi ajukan itu sangat intimidatif,
hal ini sangat berefek kepada para penonton film ini, dimana ini akan
menimbulkan kesan judge yang kuat
bahwa para pelaku – pelaku ini adalah orang sadis yang haus darah.
Saya tidak membela maupun
membenarkan tindakan para pelaku ini, tapi jika bicara mengenai siapa yang
salah, siapa yang benar,siapa yang membunuh, siapa yang korban, kita tidak bisa
sepenuhnya menyalahkannya kepada para pelaku – pelaku yang di interview oleh
Adi, karena bisa dibilang mereka juga korban dari doktrin – doktrin yang
berasal pelaku utama.
Para pelaku melakukan hal – hal
ini atas suruhan pihak – pihak tertentu, bukan berasal dari hati mereka
sendiri, dengan doktrin yang menyebutkan pihak sana pengkhianat, pihak sana
penjahat, siapa yang membunuh penjahat adalah pahlawan, seorang nasionalis
pelindung negara, dan sebagainya.
Tidak jauh berbeda dengan kasus –
kasus perang, pemenang perang menyebut para pelakunya sebagai pahlawan, dibuat
monumennya, dibuat patungnya, tapi akan berbeda jika kita lihat dari sudut
pandang korban, atau pihak yang kalah, mereka menyebut para pemenang tadi,
tukang jagal, pembunuh, orang sadis yang haus darah.
Dan sayangnya doktrin itu menjadi kuat dan
mudah masuk kemasyarakat karena dilakukan oleh alat – alat pemerintahan di masa
itu, propaganda menjadi sangat berhasil karena dilakukan oleh pihak –
pihak pemerintah, bisa dibilang pihak
terpercaya.
Inilah yang kemudian menjadi
salah satu faktor yang juga sangat saya sayangkan, Joshua hanya berkutat pada
ruang lingkup masyarakat lapangan, padahal pihak – pihak yang bisa dibilang
bersalah ada di ruang lingkup yang lebih atas, dan Joshua tidak menyentuh area
itu.
Sebagai film dokumenter, Joshua
terlalu banyak menaruh bumbu – bumbu yang tidak begitu penting dalam film ini,
dengan tujuan memperkuat efek – efek dramatis, dan juga terlalu menyudutkan
keluarga “pelaku”, dimana ini menimbulkan prespektif hitam putih yang cukup
kuat, namun terlepas dari semua hal yang disebutkan diatas, saya menjadikan
Senyap tidak jauh berbeda dengan referensi yang sudah saya baca dan lihat
mengenai peristiwa G30S, ya, Senyap hanya media yang berisi mengenai Informasi
Genosida di Indonesia pada tahun 1965, jadi boleh dipercaya boleh tidak.
Namun satu yang terpenting adalah,
ketika ingin menciptakan satu kesimpulan, kita tidak bisa melihat hanya dari
satu sudut pandang saja bukan?
REF PRIBADI | GAMBAR
Republished 100516
Penggunaan gambar semata - mata hanya untuk kepentingan ilustrasi.
0 comments:
Post a Comment